Kamis, 13 Desember 2012

Pentingnya Terobosan Hukum Dan Perlindungan Korban Di Pengadilan Nasional


2 July 2012 | Kategori: Berita, News Ticker, Siaran Pers


Pernyataan Sikap Bersama : Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)(Lembaga HAM Nasional yang Spesifik bagi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan ) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)(Lembaga HAM Nasional yang Spesifik bagi Perlindungan Anak)
Pemantauan Komnas Perempuan tahun 2011 mencatat 60% korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengalami kriminalisasi. Beberapa diantaranya dikriminalkan melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Inilah yang dialami oleh kedua ibu rumah tangga, Tuti Mujiarti dan Danersih. Komnas Perempuan dan KPAI berkepentingan memberikan pendapat terhadap proses hukum yang dialami para korban KDRT yang dikriminalkan, khususnya dengan menggunakan UU PKDRT.
UU PKDRT merupakan salah satu undang-undang pembaharuan hukum perlindungan bagi kelompok rentan di wilayah domestik yaitu perempuan dan anak. UU PKDRT dilahirkan sebagai pelaksanaan CEDAW yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984. Namun karena kurangnya pemahaman Aparat Penegak Hukum terhadap UU PKDRT, UU ini justru tidak digunakan untuk melindungi perempuan dan anak korban KDRT. Anak-anak sebagai anggota keluarga menjadi saksi yang tak didengar, bahkan menjadi korban. Sistem peradilan melalui Pengadilan Nasional mempertontonkan reviktimisasi dengan proses hukum yang diskriminatif. Terhadap Danersih, Keputusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan vonis 6 tahun penjara tanpa mempertimbangkan hak korban dan hak anak, adalah fakta hukum yang diskriminatif. Sementara, sekalipun dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), penetapan tahanan rumah terhadap Tuti Mujiarti mengharuskannya berada dalam satu rumah bersama suami. Padahal, sebelumnya Tuti melaporkan suaminya melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap Tuti.
Melihat fakta tersebut Komnas Perempuan dan KPAI berpendapat :
  1. Berdasarkan Pasal 2 huruf (c), mewajibkan negara melalui Pengadilan Nasional untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak dalam rangka menghapuskan diskriminasi;
  2. Penahanan yang dilakukan Pengadilan Negeri Bekasi menyandarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) semata, tanpa menggali hukum dan mensinergikan dengan undang-undang lainnya yang terkait hak korban berdasarkan UU PKDRT, dan hak anak berdasarkan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Terutama dalam kasus Danersih, penahanan dan pelbagai bentuknya yang dilakukan sejak tingkat penyidikan hingga dalam proses pengajuan banding (saat ini), nasib dan masa depan anak-anak sama sekali tidak menjadi pertimbangan utama;
  3. Proses hukum yang dilakukan tanpa memenuhi hak korban baik perempuan maupun anak, sebagaimana dialami Danersih dan ketujuh anaknya telah menyebabkan ibu dalam posisi melakukan penelantaran rumah tangga. Negara melalui pengadilan nasional dengan hal ini telah melakukan pembiaran terhadap perlindungan dan kesejahteraan bagi anak-anak Indonesia yang membutuhkan perlindungan khusus. Pembiaran ini berimplikasi pada terhambatnya pemenuhan hak korban mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Berdasarkan hal tersebut, agar tidak terjadi keberulangan kriminalisi dan/atau diskriminasi terhadap perempuan dan anak korban KDRT, maka Komnas Perempuan dan KPAI mendesak:
I. Institusi Penegak Hukum :
a.Kepolisian
Pentingnya meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan serta membangun mekanisme dalam penelitian perkara menggunakan analisis sosial dan analisis gender dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus KDRT. Petugas Kepolisian yang sedang menangani perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum mampu menentukan korban dan pelaku sehingga dalam penanganannya tidak memposisikan korban sebagai pelaku.
b. Kejaksaan
Kejaksaan Agung melakukan pengawalan pelaksanaan Surat Edaran (SE) Jaksa Agung RI nomor SE-007/A/JA/11/2011 tentang penanganan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan. SE tersebut menjadi pedoman bagi bagi Kepala Kejaksaan Negeri dalam menugaskan Jaksa Penuntut Umum yang memiliki pemahaman dan keterampilan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya terkait korban KDRT yang menjadi Tersangka/Terdakwa.
c. Pengadilan
Hakim memiliki peran yang sangat strategis untuk lebih mendekatkan akses keadilan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kasus KDRT, sangat besar dilatarbelakangi diskriminasi gender dalam kehidupan perempuan dalam perkawinan. Hakim diharapkan dalam memeriksa dan memutus perkara, terus menggali kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan korban secara kontekstual dan menjadikannya sebagai dasar utama dalam mempertimbangkan hak perempuan korban dan perlindungan khusus bagi anak.
Selain itu, ketiga institusi penegak hukum hendaknya melakukan koordinasi dalam memutuskan penahanan dan mereformulasi bentuk penahanan bagi perempuan korban yang menjadi Terdakwa. Khususnya ibu rumah tangga yang memiliki anak dibawah umur dan memerlukan perawatan sehingga penahanan tidak menelantarkan anak-anak.
II. Komisi Yudisial
Melakukan pemantauan secara terus menerus perilaku hakim dalam memeriksa korban KDRT yang diproses sebagai Terdakwa dalam rangka memastikan Pengadilan Nasional memberikan perlindungan hukum dalam menghapuskan diskriminasi.
III. Kementerian Pemberdayaan Petempuan dan Perlindungan Anak RI
Memastikan para pihak, khususnya Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung RI mengimplementasikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penanganan Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam penanganan korban sebagai Terdakwa.
Kontak Narasumber:
Komnas Perempuan:
  • Arimbi Heroepoetri, Ketua Subkom Pemantauan (0811848514)
  • Sri Nurherwati, Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan (082122089993)
KPAI:
  • Maria Ulfa, Ketua (08129979508)